Asal Mula Rumah Sakit dalam Sejarah Islam
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kemajuan bidang medis memicu
perkembangan lebih jauh. Tak melulu karya dan pemikiran yang berserak.
Namun, pada akhirnya muncul sebuah institusi berupa rumah sakit.
Keberadaan rumah sakit selain berfungsi sebagai pusat pelayanan
kesehatan juga menjadi sentra pengembangan ilmu medis.
Rumah
sakit yang representatif paling awal dibangun di Baghdad, Irak pada masa
pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Tepatnya, ketika Harun al-Rasyid
(786809) menjadi khalifah. Rumah sakit dikenal dengan sebutan bimaristan
atau maristan. Bangunan rumah sakit di Baghdad besar dan megah.
Rancang
bangunnya menjadi acuan bagi rumah sakit lainnya yang baru didirikan di
wilayah Islam. Gambaran mengenai rumah sakit di Baghdad disampaikan
oleh sejarawan Muslim terkemuka al-Jubair. Ia mengunjungi Baghdad pada
1184 Masehi. Menurutnya, perlengkapan rumah sakit sangat memadai.
Bahkan
ia mengungkapkan, kemegahannya tak kalah dengan istana khalifah.
Kebutuhan air bersih di rumah sakit disalurkan langsung dari Sungai
Tigris. Pada masa selanjutnya, umat Islam membangun sejumlah rumah sakit
besar dan terintegrasi. Maksudnya, rumah sakit itu mampu memberi
pelayanan pengobatan beragam jenis penyakit.
Selain itu, terdapat
fasilitas rawat inap, ruang penyimpanan dan pelayanan obatobatan,
tempat pendidikan bagi dokter dan tenaga medis, perpustakaan, bahkan
menjadi pusat pengembangan ilmu serta praktik kedokteran. Sebagian besar
rumah sakit Islam berkonsep modern sudah memiliki standar semacam ini.
Oleh
karena itu, rancang bangun dan tata letak ruangan rumah sakit menjadi
penting untuk dapat mengakomodasi seluruh fungsi tadi. Beberapa ruangan
khusus melengkapi sarana yang ada. Hal itu diungkapkan dalam buku
History of the Arabs. Si penulis buku, Philip K Hitti, menyebut rumah
sakit Islam mempunyai ruangan khusus perempuan.
Berdiri pula
gudang obat yang menyatu dengan bangunan rumah sakit. "Beberapa di
antaranya dilengkapi perpustakaan kedokteran. Rumah sakit juga
menawarkan kursus pengobatan," urai Hitti. Gambaran yang hampir sama
tercantum dalam artikel berjudul "Islamic Culture and the Medical Arts"
pada laman National Library of Medicine.
Artikel tersebut
menggambarkan, rumah sakit yang didirikan umat Islam di Suriah maupun
Mesir sepanjang abad ke-12 dan ke-13 juga memiliki setidaknya empat
bangsal besar. Ruangan lain berukuran tidak terlampau luas, seperti
ruang untuk dapur, gudang, apotek, tempat istirahat staf, dan
perpustakaan.
Tiap bangsal biasanya dilengkapi pancuran air
bersih untuk minum atau mandi. Rumah sakit menerapkan pemisahan bangsal
pasien perempuan dan laki-laki. Juga bangsal untuk pasien berpenyakit
menular dirawat di ruangan terpisah dari pasien lain. Selain itu, ada
pula ruang khusus bagi pasien penyakit mata dan disentri.
Di sisi
lain, ada area khusus yang digunakan sebagai ruangan operasi dan ruang
perawatan pasien gangguan jiwa. Kamar mandi dengan pasokan air memadai
tersedia pada beberapa bagian rumah sakit. Para pengelola rumah sakit
sangat memerhatikan unsur kebersihan sehingga tidak membiarkan kamar
mandi dalam keadaan kotor.
Sejumlah rumah sakit milik pemerintah
memiliki laboratorium guna meracik beragam obat. Tak jarang, pusat
farmasi ini sanggup memproduksi obat-obatan dalam skala besar. Sebagian
besar obat diberikan untuk pasien rumah sakit dan sebagian lagi
disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Prestasi
mengagumkan ketika rumah sakit menjadi tempat pendidikan, tempat menempa
mahasiswa kedokteran dan perawat, serta pengembangan kajian medis. Ada
pula ruangan yang digunakan sebagai tempat belajar-mengajar. Tradisi itu
mulai berlangsung pada masa Khalifah al-Ma'mun serta al-Mu'tashim, dan
masih ada di era Seljuk dan Usmani.
Di Rumah Sakit Bursa yang
berdiri di dekat istana Sultan Yildirim, dibuka sekolah kedokteran. Di
rumah sakit itu, di samping ada ruang belajar, ada pula ruangan pengajar
yang juga para dokter senior. Perpustakaan besar yang menyimpan
bermacam naskah ilmiah medis turut melengkapi sarana pendidikan.
Rumah
sakit lain yang membuka fasilitas pelatihan kedokteran yakni RS al-Nuri
di Damaskus, Suriah dan RS Marakesh di Maroko. Ruangan yang sangat
penting dan selalu ada di rumah sakit Islam adalah masjid atau tempat
ibadah. Fasilitas tersebut memudahkan pasien dan pengunjung dalam
menunaikan ibadah.
Tak heran, ruangannya cukup besar dan bisa
menampung banyak jamaah. Selain itu, dalam artikel berjudul "The
Beginning of the Islamic Hospitals" pada laman muslimheritage
menuturkan, di sana dibangun pula gereja bagi pengunjung, pasien, maupun
tenaga kesehatan yang beragama Nasrani.
Manajemen rumah sakit
menyediakan ruang tunggu bagi pengunjung. Sarana penunjang lainnya
adalah aula, klinik pasien rawat jalan dan penyakit ringan, juga dapur.
Dan yang membanggakan, seluruh pelayanan dan sarana itu dapat dinikmati
oleh pasien tanpa dipungut biaya sepeser pun. Ilmuwan Hossam Arafa dalam
tulisan berjudul "Hospital in Islamic History" mengatakan,
karakteristik rumah sakit Islam adalah melayani pasien tanpa memandang
asal usul, etnis, suku, maupun agama. Semua berhak menerima perawatan
medis tanpa perlu membayar biaya layanan rumah sakit.
Dana yang
dibutuhkan untuk memberikan layanan pengobatan, perawatan, hingga biaya
operasional rumah sakit sepenuhnya berasal dari dana wakaf. Umat Muslim
dan penguasa mewakafkan sebagian harta mereka untuk kepentingan sosial
dan agama. Pada masa itu, dana wakaf yang terkumpul cukup besar.
Dana
wakaf tersebut lebih dari cukup untuk membiayai pembangunan serta
operasional rumah sakit. Sebagian anggaran negara juga didistribusikan
ke rumah sakit, terutama untuk pemeliharaan peralatan dan penyediaan
obat-obatan. Karena itulah, rumah sakit bisa beroperasi secara maksimal
dan mampu memberikan pelayanan terbaik bagi pasien. Konsep dan rancang
bangun rumah sakit modern milik umat Muslim ini dijadikan model bagi
rumah sakit-rumah sakit yang didirikan di Eropa beberapa abad kemudian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar